contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Kamis, 08 April 2010

Bmillah hiroh mannirohkhim:"alhamdulillah hirobil allamin iyakanak budu waiya kanastain ihdinas sirotol mustakim sirotolladina an amta allaihim goiril mak dubi alaihim walab dollin "amin,alhamdullillah hirobbil alamin puji syukur kepada alloh atas semua yang telah ditak dirkan pada kita semua,baik buruk ,pahit manis,sehat sakit,pintar bodoh ,dsb
Pada inti nya semua nya adalah milik alloh dan pasti kan kembali pada nya,(ahinalilahi wainalili rojiun)
maka dari itu semua yang ada di dunia ini adalah satu kesatuan tunggal ya dzat nya ,siru nya,sifat nya ,wujud nya adalah,(dzat tulloh ,sirrulloh,sifattulloh,maujuttulloh),lakhaula wala kuata illabillah,:tiada daya upaya selain kepunyaan alloh,bahkan apa yang namanya yang didalam tubuh manusia adalah milik alloh dan semua berjalan dengan kehendak alloh, maka dari itu wahai saudaraku jalanilah hidup ini dengan rasa ikhlas dan ber usaha untuk ikhlas,dalam artian mengikuti arus tapi jangan sampai kita terbawa oleh arus,,meng iringi dengan keikhlasan,dan slalu menilai sisi baik dari setiap hal didunia ini,kebanyakan manusia terlalu picik memandang suatu hal di dunia nyata ini ,padahal itu semua kiita tingal menik mati saja dan alloh pun berjanji akan memberikan semua nya kepada manusia adalah yang terbaik,dankita pasti mampu,ber arti alloh adalah pembohong klow kita dkasih cobaan melebihi target,yan ada adalah bukan alloh adalah pem bohong melainkan manusia nya yang tidak mu menerima kenyataan untuk bisa menerima setiapnikmat alloh yang slalu dicurahkan oleh alloh kepada kita manusia yang ditunjuk sebagai kholivah di muka bumi ini, yang slalu diberikan apa-apa yang terbaik bagi diri nya setiap saat setiap waktu,yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari,lihatlah dirikita sendiri,kenallah pada diri kita sendiri,maka engkau akan kenal siapa alloh.

Rasakan setiap kejadian dunia nyata yang kita rasakan ,yang kita alami,sekarang,dari hal-hal yang kecil,mulai dari diri sendiri,muli saat ini juga,lihat lah alloh dari dunia nyata dulu,baru lain nya,karna seperti yang alloh billang dlam al-qur an ;bahwa aloh punya dzat,sirru,maujut dan sifat,kebangeten nak sampeyan sing jare do lulus kuliah,bahkan penguasa dunia sekalipun, rak ngerti.cukup lah jelas manusia adalah lemah,dalam segala nya,untuk itu sewajib nya kita selalu bersyukur dan ber syukur atas apa yang kita peroleh dari awal kita membuka mata sampai menutup nya kembali.

” Jangan Ada Dusta Mencintai ALLAH ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Hubbud Dunia (Cinta Dunia). Itulah sebuah judul besar penyakit yang menghinggapi banyak umat saat ini. Eksistensi dunia melebihi eksistensi Allah. Celakanya lagi, bahkan banyak manusia yang sudah merusak fitrahnya sebagai makhluk. Dengan menuhankan dunia. Na’udzubillahi mindzaliq. Semoga hal yang demikian ini terhindar dari diri kaum muslimin dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang masih meninggikan asma-Nya, dan memuliakan kekasihnya, Muhammadur rasulullahu salallahu ’alaihi wasallam.

Penyakit cinta dunia dan takut mati memang bukan hari ini saja terjadi. Ini adalah kisah dan perilaku yang berulang-ulang. Tentu ingat bagaimana Fir’aun (Ramses II) yang menganggap dirinya Tuhan. Berkuasa penuh atas diri manusia. Tapi, ketika maut menjemputnya (tatkala ia digulung lautan saat mengejar nabi Musa as), barulah ia bermunajat pada Allah swt. Sayang, semuanya terlambat. Hanya saja, tubuhnya hingga kini tetap dijaga oleh Allah, sebagai pelajaran bagi umat di kemudian hari.

Dasar penyakit, cinta dunia hingga kini masih saja terus berulang. Wujud dan bentuknya beragam. Namun, pada prinsipnya, cinta dunia selalu dipicu oleh materi. Sehingga, banyak manusia hari ini berlomba-lomba mencari rezki tanpa mengenal siang dan malam. Kerja keras siang malam, pergi pagi pulang malam, peras keringat banting tulang demi dunia. Sayang, mereka lupa dengan Maha Pemilik Materi, Allah ’Azza wa Jalla. Tak takutkah mereka dengan azab Allah?

Obatnya segeralah bertobat. Kembalilah mencintai Allah dengan tidak menafikan dunia. Karena sungguh besar manfaatnya untuk jiwa dan raga. Syurga balasannya bagi orang yang mau mencintai Allah. Tapi tidak pula mencintai Allah dengan jalan riya’. Cintailah Allah dengan ikhlas. Zuhud-lah kepada Allah, seperti halnya Muhammad saw yang hingga akhir hayatnya memilih menjadi anak-anak langit, bukan anak-anak dunia.

Abu Bakr ash-Shiddiq ra, (rela) memberikan seluruh harta kekayaannya kepada Nabi Muhammad saw, demi berjuang di jalan Allah swt, demi Islam sebagai totalitas hidup. Seorang pecinta tidak akan menyembunyikan apa pun dari kekasihnya, bahkan ia akan memberikan segala sesuatu padanya. Begitulah pelajaran yang dapat dipetik dari Abu Bakar, orang terpandang di zamannya.

Syarat mencintai Allah memang dengan bala cobaan. Hal itu pulalah yang dilalui oleh nabi-nabi Allah terdahulu hingga Rasulullah saw. Maka, setiap bala cobaan disertai pula dengan kesetiaan. Agar tidak dicap hanya mengaku-ngaku cinta Allah dengan kebohongan, kemunafikan, dan riya’. Jalan (menuju) al-Haqq ’Azza wa Jalla membutuhkan kejujuran (kesungguhan-shidq) dan cahaya makrifat. Di akhir cinta itulah seorang muslim akan meraih kebahagiaan hidup yang diimpikannya. Seperti halnya Muhammad saw berhasil membuat Islam jaya berabad-abad lamanya.

Jikalau kedekatan dengan-Nya sudah benar-benar shahih, maka Dia akan mengucurkan anugerah kemurahan-Nya. Dia akan membuka pintu-pintu bagian-Nya (qadha dan qadar), pintu kelembutan, pintu rahmat, dan jendela anugerah-Nya. Dia genggam dunia untuk umat yang bersyukur, lalu membentangkannya seluas-luasnya. Tentunya semua anugerah ini hanya diberikan-Nya para manusia-manusia pilihan. Karena Dia Maha Mengetahui akan ketaqwaan mereka. Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan sesuatu sampai terlena melupakan-Nya.

Nabi saw termasuk orang yang ditawari dunia, namun tidak sibuk mengurusinya dan lupa melayani-Nya. Beliau tidak menoleh pada bagian-bagian (rezki) dengan segala kesempurnaan zuhud dan penentangan. Beliau pernah ditawari kunci-kunci kekayaan bui, namun justru beliau mengembalikannya sembari berkata, “Tuhan, hidupkanlah aku sebagai orang miskin dan matikan aku sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku kelak bersama orang-orang miskin”. Bagi kita kaum muslimin, tentu perjuangan Rasulullah saw ini sangat mulia di sisi-Nya. Perjuangan yang diberikannya, adalah demi umat Islam, sebagai umat terbaik di atas bumi Allah swt.

Zuhud adalah anugerah kesalehan. Seorang Mukmin bebas lepas dari beban ambisi mengumpulkan duniawi, tidak pula rakus dan terburu-buru. Berzuhud atas segala sesuatu dengan segenap hati dan berpaling darinya dengan segenap nurani. Seorang muslim hanya sibuk dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dia tahu pasti bagiannya tidak akan lepas darinya, hingga dia pun tidak perlu mencarinya. Dia biarkan bagian-bagian (duniawi) berlari mengejar di belakangnya, merendah dan memohon-mohon padanya untuk menerimanya.

Dikisahkan kembali oleh ’Abdul Kadir al Jilani tentang Sufyan ash-Shawri, pada awal menuntut ilmu, di perutnya terikat sabuki himyan berisi uang 500 dinar untuk keperluan hidup dan belajar. Dia ketuk-ketuk sabuk itu dengan tangannya seraya berkata, ”Jika tidak ada engkau, pastilah mereka sudah membuang kita”. Setelah diperolehnya ilmu dan makrifat pengetahuan al-Haqq Azza wa Jalla, maka dia sumbangkan sisa uang yang ada padanya untuk kaum fakir dalam waktu satu hari seraya berkata, ”Jikalau langit adalah besi yang tak mencurahkan hujan, bumi berupa batu cadas yang menumbuhkan (tanaman) dan aku pun (harus) berkonsentrasi mencari rezki, maka pastilah aku menjadi kafir”.

Maka setiap orang mukmin bekerja dan berinteraksi dengan sarana sampai iman benar-benar kuat, baru setelah itu berpindah dari sarana (sabab) pada Pemberi sarana (Musabib). Para nabi juga bekerja, bermodal, dan berhubungan dengan sarana duniawi pada awal keadaan mereka, baru pada akhirnya, mereka pasrah diri (tawakal). Mereka mensinergikan kerja dan tawakal sebagai awalan dan akhiran, syariat dan hakikat. Diriwayatkan dari Nabi saw, “Bahwasanya seorang laki-laki datang menghadapnya, lalu berkata, ‘Aku mencintaimu karena Allah ‘Azza wa Jalla’. Beliau pun bersabda padanya, ’Jadikan bala cobaan sebagai jubah, jadikan kefakiran sebagai jubah’”. Sebuah pepatah Arab juga mengatakan: Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika engkau seorang pawang, bolehlah engkau dekati ular itu, dan jika engkau sudah memilih kekuatan, maka dekatilah macan itu.

Seorang laki-laki pernah bertemu Abu Yazid al-Bisthami, kemudian lama menengok ke kanan dan ke kiri. Abu Yazid pun menegurnya “Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku ingin (mencari) tempat bersih untuk melaksanakan shalat”. Abu Yazid langsung menukas, “Bersihkan hatimu dulu dan barulah shalat sebagaimana kehendakmu”. Memang, riya’ adalah rintangan di tengah jalan kaum (Sufi) yang tidak mau harus mereka seberangi. Riya’, ujub, dan kemunafikan, termasuk anak-anak panah Setan yang dileparkan ke dalam hati.

Jangan terlena dengan hembusan-hembusan (bujuk rayu) Setan, dan jangan kalah oleh panah-panah nafsu. Sebab ia (nafsu) melempari jiwa orang mukmin dengan panah Setan, dan memang Setan tidak dapat menguasai jiwa orang mukmin kecuali dengan sarana nafsu. Setan jin tidak dapat menguasai kecuali lewat media Setan manusia, yaitu nafsu kolega-kolega yang buruk. Memohonlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’ dan mintalah tolong pada-Nya dalam menghadapi musuh-musuh ini, niscaya Dia akan memberi pertolongan.

Orang yang tertolak (al-mahrum) adalah orang yang menolak al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan kehilangan kedekatan bersama-Nya di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa kitab-Nya, “Hai anak Adam! Jika Aku melewatkanmu, maka akan lepas (dari)mu segala sesuatu”. Bagaimana al-Haqq ‘Azza wa Jalla tidak melewatkan harapan orang mukmin jika mereka berpaling dari-Nya, dan dari kaum Mukmin serta hamba-hamba-Nya yang saleh, bahkan malah menyakiti mereka secara lahir dan batin. Nabi saw bersabda, “Menyakiti orang Mukmin lima belas kali lebih besar (dosanya) di sisi Allah daripada merobohkan Ka’bah dan a-Bait al-M’mur”.

Janganlah takut pada siapa pun, baik jin, manusia, maupun malaikat. Jangan takut pula pada apa pun, baik hewan yang berbicara maupun yang diam. Jangan takut dengan penderitaan dunia, dan jangan takut pula dengan siksa akhirat, akan tetapi takutlah pada Sang Pemberi azab siksaan. Yang menurunkan penyakit adalah juga yang menurunkan obat. Tentu saja, ia pula yang lebih mengerti tentang kemaslahatan daripada selainnya. Jangan kecam Allah ‘Azza wa Jalla’dalam segala tindakan-Nya (fi’l. Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Dia akan merampasnya (ikhtiar dan duniawinya), jika memang ia bersabar (menghadapinya), maka Dia akan mengangkat (derajat)nya, membaguskan (taraf kehidupannya), memberinya (anugerah), dan membuatnya kaya.

Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Cegahlah nafsu dari syahwat kesenangan dan kelezatan. Berilah dia makanan yang suci tanpa najis. Makanan yang suci adalah makanan yang halal. Adapun makanan yang najis adalah haram. Berilah dia sarapan yang halal hingga dia tidak menjadi sombong, tinggi hati, dan kurang ajar. Ya Allah, kenalkanlah kami dengan-Mu, hingga kami mengenal-Mu”. Amieen,..

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Cinta Karena ALLAH ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Iman adalah sesuatu yang hidup dan dinamis. Iman yang benar, keyakinan yang kuat akan mengantarkan pemiliknya merasakan halawatul iman -kelezatan dan manisnya iman-. Rasulullah saw. telah berjanji kepada siapa saja yang mampu melaksanakan tiga perkara, ia pasti akan mereguk lezatnya iman. Rasulullah saw. bersabda:

عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ قال : قال النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ” لا يجد أحد حلاوة الإيمان ، حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وحتى أن يقذف في النار أحب إليه من أن يرجع إلى الكفر بعد إذ أنقذه الله ، وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ” . رواه البخاري .

Dari Anas bin Malik ra berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: “Seseorang tidak akan pernah mendapatkan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang, tidak mencintainya kecuali karena Allah; sehingga ia dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya; dan sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya.” Imam Al Bukhari.

Penjelasan:

باب : الحب في الله : Mencintai karena Allah, tidak bercampur aduk dengan riya dan nafsu.

ولا يجد أحد حلاوة الإيمان : Seseorang tidak akan mendapatkan manisnya iman. Iman diserupakan dengan madu, karena keduanya memiliki kesamaan; Manis. Iman yang benar dalam hati akan mewujudkan rasa manis layaknya madu.

وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ” : Sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selainnya.

محبة الله : إرادة طاعته ، ومحبة رسوله : متابعته : Mencintai Allah adalah dengan mentaati-Nya, sedangkan mencintai Rasulullah adalah dengan mengikutinya.

Cinta alami tidak masuk dalam bab ikhtiar (pilihan), maka yang dimaksudkan adalah cinta ‘aqli (logis) yaitu mendahulukan apa yang dikehendaki akal, dan yang menjadi pilihannya, meskipun bertentangan dengan hawa nafsu. Seperti orang sakit yang minum obat, ia mengambil dengan pilihannya, karena mengharapkan kesembuhan.

Penggunaan dhamir (kata ganti) pada kalimat سواهما selain keduanya, menunjukkan satu kesatuan.

Karena pernah ada seorang khatib (penceramah) yang mentatsniyahkan dhamir dalam ucapannya:

ومن عصاهما فقد غوى “Dan barang siapa yang mendurhakai keduanya maka ia telah tersesat.” Seketika Rasulullah saw. menyuruhnya untuk menggunakan dhamir mufrad yaitu dengan mengucapkan:

من عصى الله فقد غوى “Barang siapa yang mendurhakai Allah maka ia tersesat. Dipisah,

من عصى الرسول فقد غوى “Dan barang siapa yang mendurhakai Rasulullah maka ia tersesat.”

Penggabungan di sini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan adalah kumpulan dua cinta. Berbeda dengan ungkapan khatib tadi, masing-masing maksiat berdiri sendiri.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:

Mencintai seseorang karena mencari ridha Allah, bukan cinta hafa nafsu dan melanggar syariat. Seperti cinta seseorang dalam ikut serta berjihad di jalan Allah, tidak untuk tujuan duniawi. Seperti cinta seseorang untuk beramal dan berjuang dalam organisasi. Dilakukan hanya untuk mencari keridhoan Allah swt

Memilih dilemparkan ke dalam api daripada kembali menjadi kafir. Orang yang telah sempurna imannya tidak akan ada yang bisa merubahnya menjadi kafir lagi. Ia tidak mengingkari ajaran agama yang telah diyakini seperti shalat yang telah Allah wajibkan, tidak menghalalkan apa yang telah Allah haramkan, seperti khamr, atau mengharamkan yang halal.

Mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan selainnya. Orang yang sempurna imannya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat baginya daripada hak ayahnya, ibunya, anaknya, isterinya dan semua manusia. Karena mendapatkan petunjuk dari kesesatan, terbebaskan dari neraka hanya bisa karena Allah lewat seruan Rasul-Nya. Dan di antara ciri hal ini adalah membela Islam dengan ucapan dan perbuatan, mengamalkan syariat Islam, mengikuti sunnah dan berakhlak dengan akhlak Rasulullah saw.

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Manisnya Iman ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang dicintai Allah swt.) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah swt.

Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24

“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Memprioritaskan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan ridha,
Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya.

Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?

Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah

Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.

“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra. yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata :

“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya

Abu Ayub Ayub Al-Anshary, ketika mendengar seruan jihad, Dalam surat At-Taubah : 41

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”

Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah saw., ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah saw. hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata,
“Coba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”
Yang lainnya pun turut berkomentar,
“Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain engkau?”

Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah saw. menerima kenyataan pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung Alaihissalaam menawarkan kepada Nabi, bila beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka, dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah saw. menanggapinya seraya berkata,
“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon, sebagaimana firman Allah :
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim : 24)

Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas
لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik, disitulah sangat terasa manisnya.

Dari Anas ra, dari Nabi saw. bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhari Muslim)

Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah saw. bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini sangat agung maknanya, termasuk dasar-dasar Islam, berkata para ulama, “Arti dari manisnya iman adalah merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw. menjelaskan bahwa tiga perkara bila kalian berada di dalamnya maka akan didapati manisnya iman, karena sarat mendapatkan manisnya sesuatu adalah dengan mencintainya, maka barang siapa yang mencintai sesuatu dan bergelora cintanya,

Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).

Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman

Pertama : berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak kikir dengan hartanya

Kedua : bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, tetapi tidak menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya

Ketiga : Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)

Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya akan merasakan manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta dalam bercanda, dan menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” (Diriwayatkan Abdurrazzaq).

Dari Anas secara marfu’ mengatakan, “Tidaklah seorang hamba merasakan manisnya keimanan sehingga dia menyadari bahwa apa yang akan menimpanya bukan karena kesalahannya dan apa kesalahannya tidak menyebabkan ia tertimpa (musibah).” Hadits tersebut dikeluarkan Ibnu Abi Ashim, hadits sahih dengan sanad yang baik, termaktub dalam silisilah hadits sahih karya Imam Albani.

“Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…” (An-Nur: 30). Yaitu menahan dari apa yang diharamkan Allah swt. pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, dan barangsiapa yang membebaskannya walau hanya sekejap maka akan abadi penyesalannya”

Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.

Ya Allah,…
perbaharuilah iman yang ada di dalam dada kami.
jadikan kami smua sbg hamba2-Mu yg istiqomah dlm merasakan manisny iman. Tetapkanlah hati kami dalam taat kepadaMu. Amieen,..

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Menuju Iman yang Sempurna ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi sekedar keyakinan hampa. Tapi sebuah keyakinan yang menghunjam dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan tindak nyata. Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shaleh, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah swt. menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shaleh dalam surat Al-‘Ashr;

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar mentaati kebenaran dan nasehat menasehati agar tetap sabar.” QS 103:1-3

Ayat-ayat quraniah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khitab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah swt.

Iman yang menshibghah -mewarnai- akal, hati dan jasad seorang mukmin niscaya ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Allah berfirman;

“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” QS 6:122

Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada peradaban dunia.

Rasulullah saw. menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman.

Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki sertiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan berpuas diri dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.

Interaksi Sosial

Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan social. Di sini, Nabi kita Muhammad saw. mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda; “Takwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlak yang hasan.”

Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasaasiah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi’ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan lingkungan dakwah, lingkungan sosial, lingkungan pengajaran yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah saw. melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Ia telah menyeru bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit shofa: “Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani ka’ab, selamatkanlah dirimu dari apai neraka….., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka..” Imam Muslim.

Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwwah -masa Kenabian- seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan yang terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terdhalimi dan pembangunan Ka’bah.

Sensitifitas Tinggi

Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader dakwah harus terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang bersentuhan dengan daur da’awi (peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan daur tarbawi (peran pembinaan). Janganlah seorang kader yang sibuk dengan perbaikan dirinya, akan tetapi mengabaikan dakwah keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-anaknya. Puas dengan kehebatannya, asyik dengan pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan apa yang sedang terjadi di lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara anak nyimeng dan ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali kembali firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” 64:14-15

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” 63:9

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” 66:6

Kepedulian Sosial

Interaksi sosial kita yang berujung pada kepedulian sosial, mengharuskan kita untuk terlibat penuh dengan suatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya dilakukan seorang mukmin atau bahkan kader dakwah di saat membutuhkan mereka dan ketika ada kepentingan. Akan tetapi kapanpun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai arahan Rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori qaumun ‘amaliyyun -kaum yang aktif bekerja- dan mendambakan identitas mukminiin haqqan -mukmin sejati-.

Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi da’awi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes. Dimensi ukhawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf, tafaahum dan takaaful dalam kanvas ukhuwah Islamiah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim piatu). Rasulullah bersabda: “Ya Abu dzar, apabila kamu membikin sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.” Imam Muslim

“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Muttafaqun Alaih

“Saya dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah) Imam Al-Bukhari

Dan dimensi ta’limi wa tarbawi -pengajaran dan pengkaderan-; yang mengharuskannya berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan keluarganya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” 3:104

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” 62:2

Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan peduli sosial, dilandasi iman yang hidup dan produktif dalam diri kita.
Amieeen,..

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” IMAN dan nilainya dalam kehidupan ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Sesungguhnya,menurut ajaran Islam,hanya iman yg disertai dgn amal shaleh yg dpt menghantarkan qt,baik sbg individu maupun masyarakat, kearah itu.

“Barangsiapa yg mengerjakan amal shaleh,baik laki2 maupun perempuan dlm keadaan beriman,maka sesungguhnya akan Kami berikan kpdnya kehdpan yg baik & sesungguhny akan Kami beri balasan kpd mrk dgn pahala yg lbh baik dari apa yg tlah mrk kerjakan.” (An-Nahl : 97).

Dgn iman,umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan,berhasil merubah keadaan dunia dari kegelapan menjadi terang benderang. Dgn iman,masyarakat mrk menjadi masyarakat adil & makmur.Para ulama’ melaksanakan perintah Allah,para ulama beramar ma’ruf & nahi mungkar,& rakyat saling tlg-menolong atas kebajikan & kebaikan. Kalimatul Haq mrk junjung tinggi,tiada yg mengikat antara mrk selain tali persaudaraan iman.

Namun,setelah redup cahaya iman di hati qt,lenyaplah nilai2 kebaikan diantara qt.Masyarakat qt pun menjadi masyarakat yg pnh dgn kebhgan, ksombongan,kekerasan,individualisme,keserakahan,kerusakan moral ,& kemungkaran.

“Yg demikian itu,adlh krn sesungguhnya Allah sekali2 tdk merubah sesuatu ni’mat yg tlah dianugerahkan-Nya kpd sesuatu kaum,sehingga kaum itu merubah apa yg ada pada diri mereka sendiri”
(Al-Anfal : 53).

Maka,apabila qt ingin mencapai apa yg tlah dicapai para salaf (generasi pendahulu),apabila qt ingin mewujudkan apa yg tlah dijanjikan oleh Allah SWT kpd para hambaNya yg beriman,maka hendaklah qt memperbaharui iman & melaksanakan apa yg menjadi konsekwensinya.

Dgn memohon ma’unah Allah,makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yg berkaitan dgn topik tersebut diatas.

PENGERTIAN IMAN :
Iman,secara etimologis,berasal dari kata aamana – yu’minu,berarti tasdiq,yaitu : membenarkan,mempercayai. & menurut istilah,Iman ialah : “Membenarkan dgn hati ,diucapkan dgn lisan & dibuktikan dgn amal perbuatan.”

Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dgn : “Qaulun wa amalun,wa niyyatun,wa tamassukun bis Sunnah.” Yakni : Ucapan diiringi dgn ketlsan niat (lillah) & dilandasi dgn berpegang teguh kpd Sunnah (Rasulullah SAW).

Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sbnrny iman itu ,beliau menjwb demikian : “Qaulun,wa amalun,wa niyyatun,wa sunnatun.” Artinya : Ucapan, yg disertai dgn perbuatan,diiringi dgn ketulusan niat & dilandasi dgn Sunnah.Kata beliau selanjutnya : “Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan & perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat (lillah) adlh nifaq,sedangkan apabila hanya ucapan,perbuatan & ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah (Rasulullah SAW) adalah bid’ah. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, jilid 7, hal. 171)

Dgn demikian,iman itu bukan sekedar pengertian & keyakinan dlm hati; bkn skedar ikrar dgn lisan,& bkn skedar amal perbuatan saja tp hati & jiwa kosong.Imam Hasan Basri mengatakan : “Iman itu bukanlah sekedar angan-angan,& bkn pula sekedar basa-basi dgn ucapan,akan tetapi sesuatu keyakinan yg terpatri dlm hati & dibuktikan dgn amal perbuatan. (Ahmad Izzuddin Al-Bayanuni. Al-Iman : Khashaa’ishuhu, Alaamaatuhu, Tsamaraatuhu, Cet. 2 (1405 h), bagian 1, hal. 18).

POSISI & KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM :
Iman,dlm Dienul Islam,menempati posisi amat penting & strategis sekali. Karena iman adlh asas & dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman,tdklah sah & diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur’an Surah An-Nisa’ : 124 yang artinya : “Barangsiapa yg mengerjakan amal2 shaleh,baik laki2 maupun wanita sedang ia orang yg beriman,maka mrk itu masuk kedlm surga & mrk tdk dianiaya walau sedikitpun.”

Juga dalam Qur’an Surah Al-Isra’ : 19 yang artinya :
“Dan barangsiapa yg menghendaki kehidupan akhirat & berusaha ke arah itu dgn sungguh2 sedang ia adlh mu’min,maka mrk itu adlh orang2 yg usahany dibalasi dgn baik.”

Disebutkan dlm hadits dari Al-Bara’ ibn ‘Azib,Radhiyallahu ‘Anhu,bahwa ada seorg kafir dtg dgn bertopeng sambil membawa sepotong besi, kemudian memohon kpd Rasulullah SAW,agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin utk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya : “Masuklah Islam,kemudian pergilah berperang!” Lalu iapun msk Islam & ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda : “Dia beramal sedikit tetapi dibls dgn pahala yg banyak.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Disebutkannya iman dlm Al-Qur’an lbh dari 840 kali1,tiada lain menunjukkan posisi & kedudukannya dlm Islam menurut Allah SWT.

KORELASI ANTARA IMAN & ISLAM :
Iman & Islam adlh dua sejoli yg tdk blh dipisahkan. Kedua2nya ibarat dua sisi uang logam. Tdk ada Iman tanpa Islam,& tdk ada Islam tanpa Iman. Tetapi,dgn demikian,bkn berarti Islam itu adlh Iman & Iman adlh Islam.

Iman,apabila disebutkan bersama2 dgn Islam,maka menunjukkan kpd hal2 batiniah; seperti: Iman kpd Allah SWT,iman kpd Malaikat,iman kpd hari akhir,& seterusny. & Islam,apabila disebutkan bersama2 dgn Iman, maka menunjukkan kpd hal2 lahiriah; seperti: Syahadat, shalat,puasa,& setrsny. Dsrnya: Al-Hujurat : 14; Hadits Jibril, riwayat Al-Bukhari & Muslim.

Namun,Iman apabila disebutkan tersendiri,tanpa dgn Islam,maka mencakup pengertian Islam & tdk terlepas darinya; krn iman,menurut definisinya,adlh: Keyakinan,ucapan & perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri, tanpa dgn Iman,maka mencakup pengertian Iman & tdk blh dipisahkan darinya. Krn Islam,pd hakekatny, yaitu: Berserah diri,lhr & batin,kpd Allah SWT dgn mengikuti sgala perintah-Ny & menjauhi sgl larangan-Nya. Dsrnya: Al-Anfal : 2 – 3, Al-Mu’minun : 1 – 9, dan Al-Imran : 19, 85.

KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN :
Segala pengakuan ada konsekwensinya & mempunyai ciri2i yg menunjukkan kebnrnnya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi & ciri2nya,antara lain:

Mempercayai segala yg dtg dari Allah SWT,dgn yakin,tanpa ragu2 lagi. ( Al-Hujurat : 15).
Mencintai Allah SWT & Rasul-Nya melebihi dari yg lain. (Al-Baqarah : 165, At-Taubah : 24).
Patuh & tunduk kpd Allah SWT & Rasul-Nya. ( An-Nisa’ : 69, 90, An-Nur : 51 – 52, Al-Ahzab : 36).
Senantiasa berhukum kpd syariat-Nya. (An-Nisa’ : 65).
Amar Ma’ruf – Nahi Munkar. (At-Taubah : 71, Al-Ashr).
Berda’wah & Jihad di jln Allah SWT. (Fushshilat : 33, Yusuf : 108, Ash-Shaf : 10 – 13).
Walaa’ kpd kaum Mu’minin & Baraa’ terhadap orang2 kafir. (Al-Maidah : 55, At-Taubah : 71, Al-Mumtahanah : 4).
Ridha kpd segala takdir-Ny. (Al-Baqarah : 155 – 157).

NILAI IMAN & HASILNYA DALAM KEHIDUPAN
Dlm ajaran Islam,Iman adlh sesuatu yg asasi sekali. Dialah yg menjadikan kehidupan seseorang mempunyai arti & makna. Dialah yg mendorong seseorang utk produktif (beramal shaleh) dlm hdp ini & memberinya nilai tambah.Tanpa iman,sia-sialah hidup ini.

Individu tanpa agama & iman,ibarat bulu yg ditiup angin,terombang-ambing kesana-kemari,tak mempunyai arah & tujuan. Individu tanpa agama & iman adlh manusia yg tak ada nilai & akarnya. Pribadi yg galau & bingung,tak tahu hakekat dirinya,atau rahasia eksistensinya.Tak tahu siapa yg memberinya kehdpan,& untuk apa,lalu mengapa dicabutnya kembali? Manusia tanpa agama & iman,adlh makhluk hdp yg buas. Pengetahuan & hukum saja,tak dpt membatasi kebuasannya atau memotong kuku2 cengkeramannya.

Imanlah yg dpt memberikan kepuasan & kebahagiaan dlm hdp,baik di dunia maupun di akhirat kelak.Kepuasan & kebahagiaan tdk dpt dicapai kecuali dgn ketenangan jiwa,& ketenangan jiwa tdk dpt dicapai kecuali dgn iman yg bnr. Firman Allah SWT dlm QS. Al-Fath : 4 yg artinya:
“Dialah yg tlah menurunkan ketenangan kedlm hati orang2 mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yg tlah ada). & Allah mempunyai tentara2 langit & bumi,& adlh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Disebutkan dlm hadits shahih : “Niscaya merasakan kenikmatan iman, org yg rela Allah sebagi Tuhan,Islam sbg agama & Muhammad SAW sebagai Rassul.” (HR. Muslim dan At-Turmudzi).

Jadi iman adlh sumber segala yg diperlukan manusia dlm kehdpan.Iman adlh kekuatan,iman adlh roh kehdpan,iman adlh dunia keindahan,penunjuk jalan,pelita dlm kegelapan,& kunci rahasia kehdpan.

Adapun hasil yg dpt diperoleh karena iman,selain tersebut di atas,antara lain :

Petunjuk dari Allah. (Al-An’am : 82, Al-Hajj : 54, At-Taghaabun : 11).
Pertolongan dari Allah. (Al-Mu’min : 51, Muhammad : 7).
Kecintaan & kasih-sayang Allah. (Al-Baqarah : 257, Al-Hajj : 38, Maryam : 96).
Jln keluar & rizqi dari-Nya. (Ath-Thalaaq : 3).
Limpahan berkah dari langit & bumi. (Al-A’raaf : 96).
Menjadikan kaum mu’minin berkuasa di muka bumi,Islam menjadi kuat,& keadaan menjadi aman sentaus. (An-Nur : 55).
Kehidupan yg baik & balasan pahala yg lbh baik. (An-Nahl : 97).
Ketentraman & kedamaian. (Ar-Ra’d : 28, Al-Fath : 4).
Do’a para malaikat & kaum Mu’minin. (Al-Mu’min :7 – 9).
Selamat dari siksa dunia & akhirat. (Yunus : 102-103, Maryam : 71-72).
Selamat dari godaan & tipu daya syaitan. (Fushshilat : 36).
Surga yg abadi dgn segala kenikmatan yg ada di dlmnya. (At-Taubah : 72, Maryam : 60-61, Al-Hadid : 21 ).

Dari apa yg dikemukakan tadi,sdh jelas,bahwa hanya satu jalan yg hrs ditempuh oleh umat Islam,& tdk ada pilihan lain. Yaitu jalan iman, satu2nya jalan utk mewujudkan apa yg kita idam2kan & cita2kan.

Iman yg hak adlh satu2nya jalan utk menggapai bahagia dunia akhirat. Smoga Allah melimpahkan taufiq-Nya untuk qt sekalian.

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Istiqomah, Istikharah dan Istighfar ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Bumi yang kita tempati adalah planet yang selalu berputar, ada siang ada malam. Roda kehidupan dunia juga tidak pernah berhenti, kadang naik kadang turun. Ada suka ada duka. Ada senyum ada tangis. Kadangkala dipuji tapi pada suatu saat kita dicaci. Jangan harapkan ada keabadian perjalanan hidup. Oleh sebab itu agar tidak terombang ambing dan tetap tegar dalam menghadapi segala kemungkinan tantangan hidup kita harus memiliki pegangan dan amalam dalam hidup. Salah satu pegangan dan amalan penting yang diberikan agama kita untuk menghadapi kehidupan ini adalah Istiqomah, Istikharah dan Istighfar.

1). Istiqomah, yaitu kokoh dalam dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah. Begitu pentingnya Istiqomah ini sampai Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa

sam berpesan kepada seseorang seperti dalam hadits berikut:

عن أبي سفيان بن عبد الله رضي الله علنه قال: قلت يا رسول الله، قل لي فى الإسلام قولا لا أسأله عنه أحدا غيرك، قال: قل آمنت بالله ثم استقم (رواه مسلم)

Dari Abu Sufyan bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu berkata: Aku telah berkata, “wahai rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu berkata pada orang lain selain engkau. Nabi menjawab,”katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah”.

Orang yang istiqomah selalu kokoh dalam aqidah dan tidak goyang keimanan bersama dalam tantangan hidup. Sekalipun dihadapkan pada tantangan hidup, ibadah tidak ikut redup, kantong kering atau tebal, tetap memperhatikan haram halam, dicaci dipuji, sujud pantang berhenti, sekalipun ia memiliki fasilitas, ia tidak tergoda melakukan kemaksiatan.

Orang seperti itulah yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-qura’an surat fusilat ayat 30

. إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengataka:”tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhakan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengetakan):”janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

2). Istikharah, selalu mohon petunjuk kepada Allah dalam setiap langkah dan penuh pertimbangan dalam setiap keputusan.

Setiap orang mempunyai kebebasan untuk berbicara dan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi menurut Islam, tidak ada kebebasan yang tanpa batas, dan batas-batas tersebut adalah aturan-aturan agama. Maka seorang muslim yang benar, selalu berfikir berkali-kali sebelum melakukan tindakan atau mengucapakan sebuah ucapan serta ia selalu mohon petunjuk kepada Allah.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت.(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة

Barang siapa yang beriman kepad Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah. (HR Al-bukhari dan muslim dari Abu Hurairah)

Orang bijak berkata “Think today and speak tomorrow” (berfikirlah hari ini dan berbicaralah besok).

Kalau ucapan itu tidak baik apalagi sampai menyakitkan orang lain maka tahanlah, jangan diucapakn, sekalipun menahan ucapan tersebut terasa sakit. Tapi apabila ucapan itu benar dan baik maka katakanlah jangan ditahan sebab lidah kita menjadi lemas untuk bisa meneriakkan kebenaran dan keadilan serta menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Mengenai kebebasan ini, malaikat jibril pernah datang kepada Nabi muhammad Shallahu ‘alai wa salam untuk memberikan rambu kehidupan, beliau bersabda:

أتاني جبريل فقال: يا محمد عش ما شئت فإنك ميت، وأحبب ما شئت فإنك مفارق، واعمل ما شئت فإنك مجزي به. (رواه البيهقي عن جابر

Jibril telah datang kepadaku dan berkata: Hai Muhammad hiduplah sesukamu, tapi sesungguhnya engkau suatu saat pasti akan mati, cintailah apa yang engkau sukai tapi engkau suatua saat pasti berpdisah juga dan lakukanlah yang engkau inginkan sesungguhny semua itu ada balasannya.(HR. Baihaqi dan Jabir)

Sabda Nabi Shallahu alihi wasalam ini semakin penting untuk diresapi ketika akhir akhir ini dengan dalih kebebasan, banyak orang berbicara tanpa logika dan data yang benar dan bertindak sekehaendaknya tanpa mengindahkan etika agama. Para pakar barang kali untuk saat saat ini, lebih bijaksana untuk banyak mendengar daripada berbicara yang kadang kadang justru membingungkan masyarakat.

Kita memasyarakatkan istikharah dalam segala langkah kita, agar kita benar benar bertindak secara benar dan tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari.

Nabi Muhammad Shallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

ما خاب من استخار ولا ندم من استشار ولا عال من اقتصد.

Tidak rugi orang yang beristikharah, tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah dan tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat. (HR. Thabrani dari Anas)

3). Istighfar, yaitu selalu introspeksi diri dan mohon ampunan kepada Allah.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan baik sebagai individu maupun kesalahan sebagai sebuah bangsa. Setiap kesalahan dan dosa itu sebenarnya penyakit yang merusak kehidupan kita. Oleh karena itu ia harus diobati.

Tidak sedikit persoalan besar yang kita hadapi akhir akhir ini yang diakibatkan kesalahan kita sendiri. Saatnya kita instrospeksi masa lalu, memohon ampun kepada Allah, melakukan koreksi untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah dengan penuh keridloaan Allah.

Dalam persoalan ekonomi, jika rizki Allah tidak sampai kepada kita disebabkan karena kesalahan kita, maka yang diobati adalah sifat malas itu. Kita tidak boleh menjadi umat pemalas. Malas adalah bagian dari musuh kita. Jika kesulitan ekonomi tersebut, karena kita kurang bisa melakukan terobosan-terobosan yang produktif maka kreatifitas dan etos kerja umat yang harus kita tumbuhkan.

Allah berfirman yang mengisahkan seruan Nabi hud Alaihissalam, kepada kaumnya:

وَيَاقَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“dan (Hud) berkata, hai kaumku, mohonlah ampun kepada tuhanmu lalu bertaubatlah kepadakNya, niscaya di menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan dia akan menambahkan kekuatan dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa” (QS. 52)

Sekali lagi, tiada kehidupan yang sepi dari tantangan dan godaan. Agar kita tetap tegar dan selamat dalam berbagai gelombang kehidupan, tidak bisa tidak kita harus memiliki dan melakukan tiga amalan di atas yaitu Istiqomah, Istikharah, Isrighfar.

Mudah mudahan Allah memberi kekuatan kepada kita untuk menatap masa depan dengan keimanan dan rahmayNya yang melimpah. Amieen,..

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Meniti Jalan Istiqomah ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Kaum muslimin rahimakumullah, di dalam kehidupan manusia, Allah telah menetapkan jalan yang harus ditempuh oleh manusia melalui syariat-Nya sehingga seseorang senantiasa Istiqomah dan tegak di atas syariat-Nya, selalu menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya serta tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Allah ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa istiqomah.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)” (QS. Al Ahqaaf [46]: 13-14)

Akan tetapi bagaimana pun juga seorang hamba tidak mungkin untuk senantiasa terus dan sempurna dalam istiqomahnya. Terkadang seorang hamba luput dan lalai yang menyebabkan nilai istiqomah seorang hamba menjadi berkurang. Oleh karena itu, Allah memberikan jalan keluar untuk memperbaiki kekurangan tersebut yaitu dengan beristigfar dan memohon ampun kepada Allah ta’ala dari dosa dan kesalahan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya”. (QS. Fushshilat [41]: 6). Di dalam al-Qur’an maupun Sunnah telah ditegaskan cara-cara yang dapat ditempuh oleh seorang hamba untuk bisa meraih istiqomah. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (QS. Ibrahim [14] : 27). Makna “ucapan yang teguh” adalah dua kalimat syahadat. Sehingga, Allah akan meneguhkan orang yang beriman yang memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat ini di dunia dan di akhirat.

Kedua, membaca al-Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya. Allah berfirman yang artinya, “Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur‘an itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. An Nahl [16]:102)

Ketiga, berkumpul dan bergaul di lingkungan orang-orang saleh. Hal ini sangat membantu seseorang untuk senantiasa istiqomah di jalan Allah ta’ala. Teman-teman yang saleh akan senantiasa mengingatkan kita untuk berbuat baik serta mengingatkan kita dari kekeliruan. Bahkan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hal yang sangat membantu meneguhkan keimanan para sahabat adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman yang artinya, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran [3]:101)

Keempat, berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa, “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik ” artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)

Kelima, membaca kisah Rasulullah, para sahabat dan para ulama terdahulu untuk mengambil teladan dari mereka. Dengan membaca kisah-kisah mereka, bagaimana perjuangan mereka dalam menegakkan diinul Islam, maka kita dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud [11]: 120)

Kaum muslimin rahimakumullah demikianlah sedikit yang dapat kami sampaikan sebagai renungan bagi kita semua untuk meniti jalan istiqomah. Semoga Allah ta’ala memberikan keteguhan kepada kita untuk senantiasa menjalankan syariat-Nya hingga kelak kematian menjemput kita semua. Amiin ya Mujibbassaailiin.

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Abu Ayyub al-Anshari radhiallaahu ‘anhu meriwayatkan, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)

Imam Ahmad dan an-Nasa’i, meriwayatkan dari Tsauban, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hubban dalam “Shahih” mereka)

Dari Abu Hurairah radhallaahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan lantas disambung dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia bagaikan telah berpuasa selama setahun.” (HR. al-Bazzar)

Pahala puasa Ramadhan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal menyamai pahala puasa enam hari penuh, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali kelipatannya, sebagaimana telah disinggung dalam hadits Tsauban di muka.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfa’at, di antaranya:
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawathib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta’ala menerima amal seseorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan sesuatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya Iedul Fithri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah Iedul Fithri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

Oleh karena itu termasuk sebagian ungkapan rasa syukur seorang hamba atas pertolongan dan ampuan yang telah dianugerahkan kepadanya adalah dengan berpuasa setelah Ramadhan. Tetapi jika ia justru mengggantinya dengan perbuatan maksiat, maka ia termasuk kelompok orang yang membalas kenikmatan dengan kekufuran. Apabila ia berniat pada saat melakukan puasa untuk kembali melakukan maksiat lagi, maka puasanya tidak akan terkabul, ia bagaikan orang yang membangun sebuah bangunan megah lantas menghancurkannya kembali. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai lagi.” (QS. an-Nahl: 92)

5. Dan di antara manfa’at puasa enam hari di bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup. Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Sebab tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh dan lama berpuasa Ramadhan.

Barangsiapa yang mereka demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa, padahal orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah Iedul Fithri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa, ia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.

Seorang ulama Salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya di bulan Ramadhan tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar, “Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah Ta’ala secara benar kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh di sepanjang tahun.”

Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu akan mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Ketahuilah amal perbuatan seorang mukmin itu tidak ada batasnya hingga maut menjemputnya. Allah Ta.a’a berfirman, “Dan sembahlah Tuhan-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. al-Hijr: 99)

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa serta shadaqah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada bulan Ramadhan adalah disyari’atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, diantaranya; ia sebagai pelengkap dari kekuarangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada Hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapuskannya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu keharibaan Nabi, segenap keluarga dan sahabat beliau.dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Desember 12, 2009 Ditulis oleh lovegoodgirl | Uncategorized | | Belum Ada Tanggapan

” Puasa Syawal: Puasa Seperti Setahun Penuh ”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ …

“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا)

“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)

Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.

Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?

Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawal hingga keluar waktu (bulan Syawal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.

Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)

Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu

Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.

Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.

Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!

Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah

Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)

Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat, serta menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.SMOGA MENDEWASAKAN KITA SEMUA:AMIN.

0

0 komentar:

Posting Komentar

Links

Followers